Jumat, 20 Januari 2017

SOLUSI MENGATASI PUTUS SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN ETNOSAINS



Pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk memanusiakan manusia. Melalui pendidikan harkat dan martabat manusia dibudayakan agar menjadi manusia yang manusiawi, yaitu manusia yang mau mengakui, menghargai, dan memperlakukan manusia lain layaknya sebagai manusia. (Latief dkk, 2009). 
 Menurut Sudiyono (2010), maju dan berkembangnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dilaksanakan oleh negara tersebut.  Masalahnya adalah, untuk memajukan pendidikan, kita masih saja terhambat dengan masalah pemerataan pendidikan. 

Beberapa langkah pemerintah untuk memeratakan pendidikan di Indonesia diantaranya pemberian beasiswa, pembangunan sarana dan prasarana, penghargaan siswa berprestasi, kompetisi/lomba, BOS, bahkan gerakan nasional seperti Gerakan Nasional Orang Tua Asuh dan gerakan nasional Wajib Belajar. 


 
Sumber gambar: kampungmedia.com
 

Hal ini berkaitan erat dengan “kewajiban negara” untuk memberikan layanan pendidikan dan pengajaran yang seluas-luasnya kepada setiap warga negaranya, sebagaimana pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pasal 6 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 yang menegaskan setiap warga negara berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Menurut Mutrofin (2009:45), program kewajiban belajar pertama kali dicanangkan pada 2 Mei 1984 dengan bentuk kewajiban belajar enam tahun pada tingkat SD atau sederajat. Pada perkembangan selanjutnya, ketika PP No. 28/1990 tentang pendidikan dasar disahkan, maka kewajiban belajar menjadi sembilan tahun. 

PP itu menyatakan bahwa pendidikan dasar terdiri dari program pendidikan enam tahun di SD dan program pendidikan tiga tahun di SMP. Program pemerintah tersebut adalah bertujuan untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia yang demikian kompleks, dan yang paling penting adalah masalah tidak meratanya pendidikan sekalipun pendidikan dasar (padahal sudah dicanangkan program “Wajib Belajar” melalui PP No. 28/1990). 

Namun pendidikan masih saja belum merata.   Sebuah kajian tentang Anak Putus Sekolah yang dilakukan bersama oleh Kementerian Pendidikan, UNESCO, dan UNICEF di tahun 2011 menunjukkan bahwa 2,5 juta anak Indonesia usia 7-15 tahun masih tidak bersekolah, dimana kebanyakan dari mereka putus sekolah sewaktu masa transisi dari SD ke SMP. Pada tahun 2012, UNICEF bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mitra lain, memusatkan perhatiannya pada pengembangan kerangka lingkungan kebijakan yang tepat untuk membawa anak-anak itu kembali ke sekolah. 

Ini dicapai dengan melakukan analisis tentang kesenjangan, hambatan, dan sumbatan dalam akses pendidikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Analisis ini dilaksanakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena sebagaian besar dari anak putus sekolah sebagai dampak dari kemiskinan terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Timur sendiri, pada tahun 2012 angka putus sekolah mencapai 13.080 ditingkat wajib belajar sembilan tahun (http://dprd.jatimprov.go.id). 

Berdasarkan data yang sudah dipublikasikan oleh badan-badan tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak putus sekolah pada usia pendidikan dasar di Kecamatan Arjasa adalah memang benar adanya. Dengan demikian, target MDGs, tujuan pembangunan nasional, harapan masyarakat secara umum, dan amanat UUD yang juga tertuang dalam PP No. 28/1990 belum terlaksana. Fenomena putus sekolah memang bukan “barang baru”, namun dari upaya yang dilakukan masih menyisakan persoalan yang sama. 

Penelitian para ahli menyebutkan penyebab putus sekolah adalah kemiskinan, keluarga, lingkungan, kepribadian, sarana dan prasarana dan mutu pendidikan. Kemudian muncul sebuah pertanyaan: mengapa dari sekian banyak solusi yang ditawarkan masih menyisakan persoalan yang sama?. Jawaban dari pertanyaan ini adalah: pahami masyarakatnya, dan ini berarti penelitian yang berkonsentrasi pada pandangan hidup atau budaya atau adat istiadat masyarakat. 

Jika diamati, pemetaan loaksi anak putus sekolah berada di lingkungan desa yang masih sangat tradisional, dimana masyarakat tradisional kurang memiliki antusiasme dalam pendidikan formal karena bagi mereka asalkan bisa bertahan hidup maka itu sudah cukup. 

Waluya (2012:4) menyatakan bahwa masyarakat sederhana (tradisional) mempunyai pengetahuan yang kurang terspesialisasi dan sedikit keterampilan yang diajarkan membuat mereka tidak perlu menciptakan institusi yang terpisah bagi pendidikan seperti sekolah, sebagai gantinya anak-anak memperoleh warisan budaya dengan mengamati dan meniru orang dewasa dalam berbagai kegiatan seperti upacara, berburu, pertanian dan panen. Ini menunjukkan bahwa terdapat cara pandang baru dalam melihat suatu persoalan, bukan dari kacamata akademisi tapi dari kacamata masyarakat lokal. 

Jika suatu penelitian memandang suatu persoalan dengan cara baru maka nantinya akan ditemukan sebuah solusi yang baru pula, dengan harapan dapat menuntaskan permasalahan yang belum terselesaikan. Sebuah perspektif yang berorientasi pada pengetahuan masyarakat lokal (etnosains) sangat sesuai jika digunakan dalam meneliti masalah seperti ini. 

Sebagaimana Fitroni dan Zain (2013:1) menyatakan aspek spasial penting untuk dikaji, karena antara satu wilayah dengan wilayah lain mempunyai perbedaan karakteristik. Keragaman karakteristik antar kabupaten/kota di suatu wilayah akan menentukan kualitas pendidikan pada daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ajeng. 2013. Angka Putus Sekolah Tinggi, Komisi E Desak Pemprov Jatim Ambil Sikap. http://dprd.jatimprov.go.id/berita/id/50/-angka-putus-sekolahtinggi- komisi-e-desak-pemprov-jatim-ambil-sikap-, diakses pada 6 Juli 2015 pukul 15.15.

Fitroni, Bagus Naufal & Ismaini Zain. 2013. Pemodelan Angka Putus Sekolah Usia Wajib Belajar Menggunakan Metode Regresi Spasial di Jawa Timur. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2, No.2. Hlm 171.

Latief, Misno. A,. Khutobah,. Zakiyah Tasnim,. Anwar R. 2009. Faktor – Faktor Penyebab Anak Usia Sekolah Pendidikan Dasar Tidak Bersekolah Di Kabupaten Jember. Jember: Universitas Jember.

Mutrofin. 2009. Mengapa Mereka Tak Bersekolah? Evaluasi Program Kewajiban Belajar. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Sudiyono, Fitriana. 2010. Karakteristik Orang Tua pada Siswa Lulusan SD Yang Tidak Melanjutkan Ke SMP Di Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

UNICEF Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2012. Jakarta

Waluya, Jaka. 2012. Pendidiikan dalam Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern. Bekasi: UNISMA

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : SOLUSI MENGATASI PUTUS SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN ETNOSAINS