Sabtu, 03 Agustus 2013

Ketika Guru Tanpa Lembar Kerja Siswa

Kurikulum 2013 yang telah diluncurkan Mendikbud Muhammad Nuh pada 15 Juli 2013 lalu, membawa beberapa konskwensi penting. Diantaranya, tidak diperkenankannya sekolah menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang selama ini menjadi "jantung" pembelajaran guru di kelas. Sebab, materi ajar dan tugas-tugas siswa telah disiapkan dalam buku panduan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan kata lain, LKS tetap ada, tetapi telah disediakan langsung oleh pemerintah dalam suatu paket buku.

Meski sebagian kalangan menilai hal ini merupakan langkah maju, tetapi dalam kalangan guru banyak menyisakan kegelisahan. Banyak rekan-rekan pendidik yang berkesimpulan bahwa kurikulum baru dengan hadirnya buku-buku paket plus LKS akan meninabobokan guru. Mereka menjadi tidak kreatif, karena serba diatur bahkan yang lebih ekstrim, kurikulum baru dituding akan memasung kreatifitas guru.

Tetapi, lagi-lagi pemerintah bersikukuh bahwa buku paket Kurikulum 2013 tidak memasung guru, bahkan diharapkan menjadi standar minimal yang harus diajarkan oleh guru. Atau dengan kata lain, bagi sebagian guru, Kurikulum 2013 menjadi sangat berarti karena memudahkan mereka. Para pendidik tidak perlu susah payah mencari buku serta LKS yang cocok. Mereka hanya tinggal melaksanakan.
Seperti diungkap Wamendikbud, Musliar Kasim yang menilai LKS justru membuat para guru tidak kreatif dalam menjalankan proses belajar mengajar, khususnya dalam memberikan tugas. Guru hanya memberikan tugas kepada para peserta didik seperti yang tertera di dalam LKS. 
Padahal dalam hemat saya, hal ini juga sama saja, sebab pemerintah menggantinya dengan buku panduan yang dibuat  oleh pemerintah secara terpusat dan seragam, lantas para guru diminta untuk mengikutinya. Bukankah itu juga sama saja dengan ’’mengebiri’’ kreativitas guru di daerah-daerah?


Bagi MGMP, keuntungan berupa royalti dari hasil penjualan LKS tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan peningkatan profesionalisme guru, seperti pertemuan rutin, workshop, dan penerbitan buletin. Dengan demikian, LKS memberi andil pula dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru. Jika LKS dilarang, jelas hal ini akan memengaruhi program kerja MGMP karena sebagian besar pembiayaan kegiatan MGMP ditopang dari royalti penulisan LKS. 


Tambal Sulam
Alasan lain, pemerintah sepertinya gerah terhadap banyaknya kasus buku dan LKS yang berkonten pornografi, seperti kasus di Bogor baru-baru ini. Pendapat Wamendikbud tersebut memang ada benarnya, tetapi tentu saja tidak bisa dipukul rata bahwa semua LKS jelek dan tidak mendidik. Sebab, dalam banyak kasus, LKS-LKS yang bermasalah sebagian besar diproduksi oleh penerbit, yang belum tentu ditulis oleh guru, sehingga isinya kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, banyak LKS yang ditulis oleh para guru yang terhimpun dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di tiap kabupaten.
Terakhir, pelarangan LKS dan terbitnya buku panduan sebenarnya sekadar tambal sulam dan belum menyentuh jantung persoalan. Akan lebih baik jika pemerintah mendorong setiap guru untuk membuat modul mandiri atau LKS sendiri sesuai karakteristik siswa tiap-tiap daerah sehingga secara otomatis akan memacu kreativitas guru. (24)
—Mardiyanto SPd, guru SMP 2 Sukoharjo, Wonosobo dan penulis LKS Dinasti MGMP Bahasa Indonesia Kabupaten Wonosobo.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Ketika Guru Tanpa Lembar Kerja Siswa